Sabtu, 05 Oktober 2013

Reason (FF(oneshot) // EXO: KaiLu)

Tittle : Reason
Genre : Romances
Type : Oneshoot
Cast : ~ Xi Luhan
          ~ Park Seo Jin
          ~ Park Bo Min, others.



Annyeong haSEHUN...^^
Berhubung ini ff pertama aku, jadi mian kalau masih banyak typo and sejenisnya.
Kalaupun ada kesamaan nama, alur cerita, dll, ane minta maaf. Tapi, ini jinja2 hasil korek2 dari otak ane. :D
Karena ane 'belum' profesional, yah seperti inilah jadinya..
Mohon pengertiaannya... *Happy Reading!!*

 




               Suara cetukkan sendok dan garpu saling bersahutan di ruangan yang bisa dibilang cukup luas itu. Menandakan sedang adanya acara makan besar disana. Dua keluarga dari marga yang berbeda tengah berkumpul di ruang makan. Entah apa yang membuat mereka terlihat sangat bahagia saat itu. Dan juga, suasana disini sangat berbeda dari biasanya, mungkin juga unik. Tentu saja, sangat jarang acara makan bersama dilakukan di pagi hari seperti ini.

        "Kya, Bomin-ah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa appa dan eomma Luhan ada disini?" Bisik Seojin kepada adik satu-satunya itu. Sepertinya, hanya ia yang tidak tahu apa-apa tentang keadaannya saat itu.
"Ssst...! Eonnie." Bomin menatap Seojin aneh, seperti menyembunyikan sesuatu darinya. "Habiskan saja sarapanmu."
        "Ck." Seojin hanya mendecak.

        Seojin kembali menyapu pandangannya ke semua orang disana, termasuk eomma Luhan. Ia terlihat sangat berbeda dari biasaanya. Eomma Luhan, Jin Yin ahjumma, seseorang yang sangat jarang memperdengarkan suara tawanya kepada orang lain, saat ini ia justru yang tertawa paling keras diantara semua orang disana. Apa karena Appa Seojin yang terus menceritakan cerita masa kecil Seojin yang konyol, tapi tidak lucu menurut Seojin, atau... karena ia baru saja menerima sesuatu yang membuat emosinya terganggu, Seojin sendiri tidak tahu.
Satu lagi pertanyaan yang belum terjawab oleh Seojin. Kemana Luhan? Apa dia tidak ikut kemari? Bukankah dia sangat bersemangat ketika ada acara makan bersama seperti ini. Apalagi ditemani oleh appa dan eommanya yang biasanya selalu sibuk dengan pekerjaan mereka, sampai tidak sempat meluangkan waktu hanya untuk sarapan.

Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan seorang namja, yang tidak lain tidak bukan adalah suara teriakan Luhan, memanggil-manggil nama Kim Seo Jin dari depan rumah. Sontak Seojin yang mendengar itu tersenyum lebar.

"Song ahjumma, suruh ia masuk kemari." Pintah Eomma Seojin kepada Song ahjumma, pembantu Seojin.
"Ne..."

Beberapa menit kemudian, Song ahjumma muncul diikuti Luhan dibelakangnya, menghampiri kami. Ia sempat terkejut ketika melihat kedua orang tuaanya ada disini, atau... lebih tepatnya terlihat kebingungan.

"Eomma, appa? Kenapa kalian ada disini?" tanya Luhan kebingungan.
"Kau lihat sekarang. Kami tidak pernah berbohong dengan ucapan kami." Jawab Appa Luhan, sembari menatap Jin Yin, eomma Luhan, disusul mereka berdua yang menatap Luhan berbarengan. Luhan hanya tersenyum senang mendengar ucapan appanya barusan.
"Appa benar-benar melakukannya?" tanya Luhan sekali lagi. Ia terlihat sangat bersemangat. Appa Luhan hanya membalas dengan tawa.
"Hahaha, Lihatlah Younggi-ah, ia terlihat sangat bersemangat bukan?." Ucap Appa Luhan kepada Appa Seojin, Kim Young Gi, disusul suara tawa semua orang. Wajah Luhan terlihat memerah seketika, ia bahkan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal untuk menyembunyikan rasa malunya.

Merasa ada yang aneh disini, Seojin kembali berbisik-bisik pada Bomin, adiknya.
"Kya! Bomin-ah, sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Dan kenapa kau ikut tertawa? Kau tahu apa yang mereka maksud kan? Cepat beritahu aku!"

Sama seperti sebelumnya, Bomin tidak menghiraukan pertanyaan Seojin. Ia hanya menatap Seojin sekilas, kemudian melanjutkan tawanya. Eomma Seojin memperhatikan Seojin yang sedari tadi berbisik-bisik pada Bomin. Oleh karena itu, eomma Seojin terlihat menyuruhnya untuk menghentikan aktivitasnya itu lewat ekspresi wajahnya. Merasa faham dengan perintah Eommanya, Seojin hanya terduduk dalam diam diantara mereka.
Karena merasa tidak dihiraukan oleh sang adik dan merasa terasingkan oleh yang lain, ia memutuskan untuk segera menghabiskan makanannya dan pergi.

"Aku selesai." Ucap Seojin, seraya bangkit dari tempat duduk dan mengenakan tas ranselnya, bersiap untuk pergi.
"Kau tidak ingin menambah roti lagi?" tanya Eomma Seojin.
"Aniya. Aku pergi~" Seojin berjalan cepat menuju pintu, tanpa sempat berpamitan dengan orang-orang disana.
"Kya! Seojin-ah, kau tidak ingin pergi denganku?" Tanya Luhan, yang masih berdiri di tempatnya semula.
"Kalau begitu cepatlah!"
"Ta, tapi aku belum..." Ucap Luhan terpotong dikarenakan Seojin sudah menghilang dibalik pintu. "Ja... Ahjussi, ahjumma, eomma, appa,..." Luhan menunjuk Seojin yang berjalan cepat ke arah pintu. "Kalau begitu...aku pergi dulu." Tambahnya terburu-buru.
"Oppa tidak tahu aku ada disini...?" Bomin ikut bicara.
"Haiiih, keureom... Bomin-ah, oppa pergi dulu ne..." Ucap Luhan yang dibalas senyuman manis khas Bomin.
"Kau tidak ingin sarapan dulu bersama kami?" Sahut Eomma Seojin.
"Gamsahabnida... Tapi, aku harus pergi. Annyeong higaseyo..." Ucap Luhan sembari membungkuk memberi hormat, kemudian berjalan cepat menyusul Seojin di luar rumah. "Aiish, anak itu!"

"Kya~~~h Memang dasar anak-anak zaman sekarang!" Gumam Appa Luhan. Sekali lagi, tawa pecah di antara mereka.
"Yeobo." Panggil eomma Luhan. "Mereka sudah dewasa..."
"Ne... majayo." Balas Appa Luhan sembari menganguk cepat, mengiyakan ucapan istrinya yang terlihat sangat senang itu.

*POV END*

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

*Back to HanSeo* :p

"Kenapa kau lama sekali...?"
"Kya! Kau tidak membiarkanku sarapan dulu eoh?" Omel Luhan sambil membenarkan dasinya yang belum tertata rapi. "Kau harus mentemaniku makan nanti. arra?"
"Ck, keure. Kau masuk dan makanlah! Aku pergi dulu. Annyeong!" Seojin berbalik meninggalkan Luhan. Mengambil langkah panjang dan cepat, kemudian melambai asal pada Luhan.

"Issh, kenapa semua orang sangat menyebalkan hari ini!" Gumam Seojin disela-sela lambaian tangannya pada Luhan. Sedangkan Luhan, ia masih sibuk memutar-mutar dasinya yang tak kunjung rapi. Luhan hanya memandang sekilas Seojin sebelum ia benar-benar keluar melewati gerbang rumah mewah itu. Merasa menemukan hal yang asing yang terlukis diraut wajah Seojin, Luhan mengikuti Seojin dan terdiam tepat di depan gerbang rumah.

"Seojin-ah." Panggil Luhan. "Apa kau marah padaku?" Teriaknya, yang masih tidak bergerak selangkahpun dari sana. Luhan memastikan pandangannya terhadap ekspresi Seojin yang tidak biasa. Yah, memang tidak biasa. Seojin bukanlah seseorang yang pandai menyembunyikan ekspresi, dan baru kali ini Luhan melihat Seojin marah dengan ekspresi seperti itu. Karena biasanya, paling tidak Seojin akan memanyunkan bibirnya dan menampakkan mimik yang lucu. Tapi kali ini tidak, ia benar-benar marah.

Seojin menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Luhan yang berjarak kurang lebih 8 meter darinya, tapi ia hanya terdiam. Cukup jauh memang, untuk membuat Luhan berteriak, mengulang ucapannya.
"Apa kau marah padaku, Park Seo Jin?"

Seojin segera merubah ekspresinya. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menanyakan moment di ruang makan tadi pada Luhan. Ia berjalan cepat menghampiri Luhan dengan sesungging senyuman. Sampai tepat di depan Luhan, ia mencondongkan sedikit kepalanya ke arah wajah Luhan, tak lupa juga, ia berkacak pinggang.

"Kya~ Sebenarnya apa yang akan kau rencanakan dengan appa dan eommamu eoh?" Tanya Seojin sinis.
Luhan memutar matanya, seakan ia sudah tahu dengan apa yang akan Seojin katakan. Luhan tersenyum evil pada Seojin. Membuat Seojin sulit untuk menelan lidahnya. Luhan terlihat sangat 'wow', ia terlihat... terlihat... #lupakan xD , batin Seojin. Seojin mulai menegakkan badanya seperti semula, ia sedikit mengambil langkah mundur. Dengan senyuman seperti itu, kira-kira... apa yang akan dia lakukan? fikir Seojin.

"Kau ingin tahu?" tanya Luhan, masih dengan senyum smirknya.
"O, oh!" Seojin tergagap, ia tidak berani menatap Luhan secara langsung, ia menunduk.
"Jinja?" Luhan mulai berjalan mendekati Seojin. Lebih dekat...
"Kya, ya! Ap, apa yang akan kau...?" Sekali lagi, Seojin tergagap dengan ucapannya. Dan Luhan... .. .
.
.
.
.
.
.
.
.
.


"Seojin-ah..." Luhan memeluk Seojin erat. Ia sedikit gemetar. Ini pertama kalinya Luhan memeluk seorang yeoja, selain eommanya, dan Seojin tahu akan itu. Dada Luhan naik turun, nafasnya sedikit berat karena detak jantungnya yang tak karuan. "Seojin-ah." Ia mengulang memanggil nama Seojin. "Aku... akan pergi ke keluar negeri dengan Appa." Jelasnya masih memeluk Seojin.

Seojin masih tidak sadarkan diri dalam pelukan Luhan. Fikirannya entah lari kemana saat itu. Waktu terasa berhenti begitu saja. Bahkan ia tidak bisa mencerna dengan baik, apa yang baru saja Luhan katakan. "M, mwo?" Tanya Seojin.

"Aku akan melanjutkan bisnis Appaku di luar negeri." Jelas Luhan.
Seojin melepaskan pelukan Luhan.
"Bu, bu, bukankah kau bilang... kau tidak tertarik dengan urusan bisnis appamu?" Tanya Seojin memastikan. Ia sangat yakin, bahwa Luhan pernah mengatakan bahwa ia sama sekali tidak tertarik dengan urusan bisnis dan perusahaan appanya. Bahkan ia pernah mengatakan lebih dari sekali, ketika sang appa menawarinya untuk sekedar mampir di perusahaannya, ia bahkan menolak. 'Apa aku harus berpisah dengan Luhan secepat ini?' fikir Seojin.

"Ne, aku pernah mengatakan itu."
"Keureom?" Seojin terlihat membendung air matanya agar tidak menetes keluar.
"Kau tahu. Stelah aku fikir-fikir, kurasa perusahaan bukanlah tempat yang buruk... dan..." Ucapnya terpotong. Ia tidak tega meneruskan kalimatnya, Seojin tengah terisak, menangis sembari menunduk dalam. Sunyi untuk beberapa saat.

"Dan apa?" Tanya Seojin masih dengan tangisnya.
"Kya~ apa kau menangis?" Luhan mencoba mengangkat wajah Seojin. Seojin sendiri segera menangkis tangan Luhan dan menatap Luhan sinis. Air matanya mengalir deras di antara kedua pipi mulusnya.
"Dan apa?! Apa yang akan oppa lakukan?!" Seojin sedikit membentak lelaki di depannya itu.
"Seojin-ah, kenapa kau.. a, aku hanya..." ucapnya terpotong. Luhan terlihat khawatir
"Keure, pergilah! Lakukan apa yang ingin kau lakukan!" Seojin berlari meninggalkan Luhan. Sampai Luhan berhasil menyusulnya dan mendekapnya dari belakang.
"Seojin-ah... Wae geure?"
"Lepaskan aku..." Pintah Seojin. Luhan terus memeluk Seojin, bahkan lebih erat kali ini. "Xi Luhan!! Jebal... *hiks* Jebal-yo... " Seojin semakin menjadi-jadi. Luhan hanya terdiam, membiarkan wanita yang ia peluk meluapkan semua perasaannya padanya.

Seojin, Ia benar-benar tidak ingin kehilangan sahabat satu-satunya itu. Waktu 14 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Seojin. Ia telah lama mengenal Luhan, bahkan hampir setiap saat, fikirannya tidak lepas dari segala sesuatu tentang Luhan. Luhan yang aneh, Luhan yang naif, Luhan yang menyebalkan, dan Luhan yang penakut. Tapi kenapa, di saat Seojin berfikir Luhanlah seseorang yang akan selalu ada disampinya, ia justru akan pergi meninggalkannya. Saat Seojin berfikir Luhanlah yang akan menghapus air matanya, dan saat Seojin yakin Luhanlah yang akan menemaninya hingga akhir hayatnya nanti, ia justru akan meninggalkannya. Sampai saat inipun, Seojin masih tetap yakin, apa yang ia rasakan kali ini bukanlah sekedar kiasan kata sahabat, ia bahkan jatuh cinta, ia tengah jatuh cinta dengan lelaki yang akan meninggalkannya itu. Beribu kali ia membatin dalam dirinya, 'Bodohnya aku yang tidak pernah menyadari perasaan ini. Lihatlah, orang yang kau cintai akan pergi, dan kau dengan bodohnya hanya membiarkannya berlalu. Apa kau bahagia Seojin? Kau mendapatkannya sekarang!'

Cukup lama mereka berpelukan, sampai akhirnya Seojin mulai mereda dalam tangisnya. Sadar akan itu, Luhan mulai mengendurkan dekapannya.

"Seojin-ah, aku..."
"Kapan kau akan pergi?" Berkali-kali Seojin memotong ucapan Luhan, seakan tidak ada lagi yang harus Luhan jelaskan padanya. Cepat atau lambat, Luhan pasti akan meninggalkannya, fikir Seojin.
"Seojin-ah, wae geure...eoh?" Luhan memegang kedua pundak Seojin, kemudian menghadapkan Seojin ke arahnya. "Apa kau tidak rela aku pergi?"
Seojin masih terisak dalam tangisnya. Ia terus menunduk dalam.
"Kya~~ uljima." Luhan mengahapus air mata Seojin menggunakan jari jempolnya. Mengelus pipi Seojin lembut, mencoba menenangkan wanita manis itu. Sebenarnya..." #kepotong lagi =,=
"Apa selama ini kau tidak menyadarinya?! Nan..." Seojin menatap Luhan dengan air mata yang masih berlinang. "Joahaeyo... Apa kau tidak menyadarinya??!" Seojin kembali menunduk. "Saranghaeyo Luhan-ah..." ucapnya pelan. "Saranghaeyo..." *hiks "Gajimayo Luhan-ah, jebal... gaj~"

CUP~ :*

Luhan mencium bibir Seojin sekilas.
"Bisakah kau membiarkan aku bicara sejenak? Kau terus memotong ucapanku dari tadi." Ucap Luhan. Seojin masih kaku karena ciuman itu.
"Seojin-ah. Nado saranghae..." Ucapnya sembari tersenyum. "Kau tahu, aku pergi ke luar negeri bukan untuk meninggalkanmu." Luhan memegang erat tangan Seojin. "Aku hanya melanjutkan bisnis appaku. Appa... dia terlihat semakin tua dan sakit-sakitan. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Jadi... aku fikir, sudah saatnya aku menggantikannya, menjalankan perusahaannya."
"Kau akan meninggalkanku. Itu sama saja..." Rengek Seojin.
"Aniya, aku tidak akan meninggalkanmu."
"Bagaimana kau tidak meninggalkanku, kau berada jauh dariku nanti. Kau akan jauh dari Seoul. Bagaimana kau tidak meninggalkanku?!!" Seojin sedikit membentak.
"Hufff...." Luhan menghembuskan nafas panjang. "Itulah sebabnya...
.
.
.
Aku akan mengajakmu." Cetus Luhan sambil tersenyum lebar.
Seojin terdiam tidak mengerti. Ia menaikkan sebelah alisnya.
"Park Seo Jin... Aku akan mengajakmu ke luar negeri. Kau senang?"
"Ap, apa katamu barusan?" Seojin tergagap. Luhan mendekatkan wajahnya ke wajah Seojin.
"Ja... Kita pergi bersama."
"Tapi...A...aku... bagaimana dengan..."
"Orang tuamu?" Sahut Luhan. "Hmm, aku fikir mereka mengizinkanmu." Jawab Luhan dengan PD-nya. Seojin menatap Luhan sinis sekaligus tidak yakin.
.
.
.
"Nde!!! Kami tidak keberatan!!!" Teriak Bomin yang tidak disangka-sangka muncul dari belakang Seojin dan Luhan, diikuti para orang tua mereka masing-masing. Sontak Seojin terkejut, wajahnya memerah semerah kepiting rebus, menambah aura manis dalam dirinya.
"Sejak kapan kalian...?" Belum selesai Seojin menyelesaikan kalimatnya, Luhan menarik tangan Seojin dan membawanya dalam dekapannya. "Luhan-ah, apa yang kau lakukan?" tanya Seojin polos.
"Ssst... Ini pelukan terakhir untuk hari ini." Bisik Luhan. Seojin hanya terdiam pasrah dan menuruti keinginan Luhan. Sampai beberapa saat...
"Kya! Kalian! Apa kalian akan terus seperti itu?" Ucap Bomin. "Aku cemburu eoh!" tambahnya. Para orang tua mereka hanya tersenyum-senyum senang melihat masing-masing anak mereka yang terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu.
"Kya~ Luhan-ah, ini memalukan... lepaskan aku." Ucap Seojin malu-malu.
Luhan melepaskan pelukannya dan mengusap perlahan kepala Seojin, juga mengusap pipi Seojin yang masih basah karena air matanya tadi. Seojin tersipu malu menatap tanah, sambil memainkan jemarinya.
"Appa, boleh aku melakukannya sekarang?" tanya Luhan kepada appanya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Seojin yang terlihat semakin manis dengan senyumannya.
"Oh~ Keure, keure." Jawab Appa Luhan sembari tertawa.
.
.
.

"Seojin-ah." Luhan mulai membuka mulut. "Setelah lulus kuliah nanti..." Seojin mulai menatap Luhan. "Maukah kau menikah denganku?"
"Mwo???" Seojin membelalakkan kedua matanya. Membuat Luhan mencibir.
"Kya~ ada apa dengan ekspresimu?? Lihat ini!" Luhan mencubit pipi Seojin yang tembem itu. "Kau sangat jelek!" tambahnya sembari tertawa.
"A, a, a... hajiman... Uri..." Seojin tergagap saking terkejutnya, ia juga menunjuk ke arah belakang, tepatnya di jalanan yang kosong itu. Seperti ingin mengatakan sesuatu yang bahkan tak kunjung keluar dari mulutnya.
"Hush! Jangan biacara lagi. Kau tidak bisa menolak permintaanku eoh?." Sahut Luhan sembari menangkap jemari Seojin yang ia ayun-ayunkan ketika ia gugup. "Aku sudah memiliki hak paten..." tambah Luhan berbisik dengan tawa kecilnya. 'Aku tidak akan berkata tidak untukmu', batin Seojin.
Seojin. Ia tak bisa berkata apa-apa lagi sekarang. Mulutnya telah terkunci rapat oleh kalimat-kalimat yang Luhan luncurkan. Hanya ada senyum manis yang menghias bibirnya kali ini. Juga, seperti biasa, mereka hanya saling bertatapan dan sunyi untuk beberapa saat.
"Heeey... cukup bertingkah seperti itu!" Ucap Jin Yin, eomma Luhan. Ia mulai menaikkan lengan bajunya dan mengintip sejenak jam tangan antik miliknya. "7 menit lagi acara akan dimulai... Apa kalian tidak ingin diwisuda?"

"Mwo???!" Ucap Seojin dan Luhan serempak, dilanjut dengan kontes tatap menatap ala mereka.

"Kya! Sebenarnya itu yang akan ku katakan!" Ucap Seojin membelalakkan kedua matanya sembari menatap Luhan.
Luhan mencengkeram tangan Seojin, manariknya untuk segera melangkah menuju kampus mereka yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari sana. Seojin, ia tidak memberontak kali ini, dengan senang hati ia mengikuti perlakuan Luhan padanya. Tiba-tiba..

Bug!!!

"Aaagh.., wae geure?" Seojin mengerang kesakitan.
"EONNIE...!!!--" Teriak Bomin.
"...Dasar kau pemalas! Ppali ireonna!!!"
Seojin mengelus pinggangnya yang terasa sakit, akibat hantaman buku keras dari Bomin. Kemudian kembali menarik selimutnya, menutup seluruh badan. Bomin sendiri tak mau kalah, ia terus menarik-narik selimut yang tengah Seojin pakai.
"Kyaaa... Tidak bisakah kau membiarkanku tidur sejenak?" Gerutu Seojin. Matanya masih memerah karena menahan kantuk.
"Aiish." Bomin, sekali lagi memukul eonni-nya itu dengan buku tebal yang tergeletak di balik selimut. "Kya! Luhan oppa menunggumu di luar!"
Tak banyak basa-basi lagi, Seojin langsung ngibrit meloncat dari tempat tidurnya dan berlari sempoyongan menuju kamar mandi. Ia juga sempat menabrak Bomin ketika melompat.
"Aiish, dasar orang itu!" Gerutu Bomin.

######
Kreeek...- Suara tarikan pintu dari Seojin, terdengar jelas ditelinga namja berparas cantik yang sedang duduk ditangga kecil teras rumah yang mewah itu. Ia memainkan sebuah bola biru yang terdapat tanda tangan seseorang disana. 'Lee Seojin' yah, terlihat nama Lee Seojin yang tertulis di bawah tanda tangan jelek itu. Ia mengingat, sudah satu setengah tahun ini dia tidak memainkan bola itu, dan hari ini, ia hanya memainkannya dengan kedua tangannya.
"Aiish, kau masih memiliki bola itu. Aku kira kau sudah menghancurkannya dengan kaki kerasmu." Ucap Seojin sinis. Luhan masih menatap bola didepannya.
"Eoh. Aku masih menyimpannya." Jawabnya tidak yakin.
'Eh? Ada apa dengan orang ini?' Batin Seojin.
"Seojin-ah, apa kau tahu? Semalam aku memimpikan sesuatu yang aneh." Ucap Luhan menatap Seojin yang berdiri di belakangnya.
"Mwoya?" Seojin segera duduk disebelah kiri Luhan dengan wajah yang penasaran.
Luhan menatap dalam ke arah Seojin, kemudian menggelengkan kepalanya cepat. Seojin yang melihatnya hanya mengerutkan alis, bingung.
"Haaggh, andwe, andwe! maldo andwe!" Gumam Luhan.
"Wae...? Apa yang kau mimpikan...?" Seojin menggoyang-goyangkan lutut Luhan.
"Ja! u, uri gaja!" Sahut Luhan, kemudian bangkit dari duduknya dengan ekspresi gugup.
"Aiiigh, Luhan-ah. Apa yang kau mimpikan...?" Seojin menahan Luhan dengan mencengkeram sebelah kakinya ketika Luhan hendak berjalan, ia juga memasang wajah memelas yang Luhan tak akan tahan jika ia tak menuruti perintahnya. Luhan menghembuskan nafas panjang. Menyiapkan mentalnya untuk mengatakan sesuatu yang gila untuk Seojin.
"Seojin-ah." Luhan kembali duduk menatap Seojin. "Jika kau aku beritahu ini. Kau jangan tertawa ne?"
"Oh, geurom!" Seojin mulai serius mendengarkan apa yang akan Luhan katakan.
"Aku..."
"Ne."
"Aku..."
"Ne, ne!" Seojin melebarkan kedua matanya.
"Aku..."
"Ne, ppali a!"
"Haiiiish, andwe, andwe, aku tidak bisa mengatakan ini padamu. Aaagh... michosseo!!" Luhan bangkit dan segera berlari meninggalkan Seojin. Ia juga membiarkan bolanya menggelinding di depan Seojin tanpa mengambilnya.
"Kya!!! Luhan-ssi, kalau kau tidak memberitahuku. Akan aku bakar semua koleksi bola-bolamu!" Teriak Seojin pada Luhan yang telah mencapai pagar rumah. "Kya!!!"

Seojin menatap bola biru didepannya. Mengingat saat-saat dimana ia memainkannya dengan Luhan. Juga, disaat Luhan menangis ketika ia tidak sengaja mencoretnya dengan spidol permanen. Iya, bola itu adalah bola pertama yang Luhan dapatkan. Alhasil, saat itu, Seojin harus menuruti satu permintaan Luhan.

"Luhan-ah, apa aku harus menepati janjiku untuk menikahimu?" Ucap Seojin sembari tertawa. "Tidak bisakah mimpiku menjadi kenyataan?" Seojin bangkit dan meraih bola dihadapannya. "Tidak bisakah kau melakukannya untukku supaya aku bisa menepati janjiku dulu?" bisik Seojin kemudian tersenyum lebar. Ia terdiam untuk beberapa saat, menatap tanda tangan jelek miliknya.

"Kya! Seojin-ah, kau tidak ingin pergi denganku?" Ucap Luhan yang tidak disangka-sangka terlihat mengintip di balik pagar. Hanya terlihat kepalanya saja yang ia miringkan, dan itu terlihat lucu. Sontak Seojin tertawa sambil memegangi perutnya.

"Hahaha, apa yang kau lakukan disana." Ucap Seojin menahan tawa. "Kya! Kau harus memberi tahuku tentang mimpimu..."

"Shiro!!!" Luhan kembali menghilang.
"Huh, dasar kau!"


[[~END~]]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar